Kamis, 24 Juli 2014

Anak-anak di Kenya Telan Pil 'Pahit' ARV 18 Butir Sehari

[caption id="attachment_8824" align="alignnone" width="694"] Jus Amazon Plus, bantu sembuhkan HIV pada anak...[/caption]

AIDS (Acquired Imunodeficiency Syndrome) tidak cuma menjangkiti orang dewasa. Di Kenya, UNAids/UNICEF mencatat ada sekitar 200.000 anak berusia 0-14 tahun yang sudah hidup 'berdampingan' dengan HIV. Beruntung ada yang mau menampung mereka.

Adalah Nyumbani Children's Home. Sekilas tempat ini seperti taman kanak-anak atau panti asuhan biasa. Namun siapa sangka, penghuninya sebagian besar adalah anak-anak yang mengidap HIV, bahkan ada yang usianya masih dua tahun.

Mereka terpaksa tinggal di penampungan seperti Nyumbani karena rata-rata dari mereka sudah yatim piatu dan tak ada sanak saudara yang mau mengurus.

Sejak didirikan pada tahun 1992 oleh Pastor Angelo D'Agostino, Nyumbani telah menampung lebih dari 50.000 anak pengidap HIV. Menurut pengelolanya, Suster Mary Owen, dulunya mereka menampung setiap anak yang diduga terjangkit HIV dari orang tuanya hingga usia 'status' mereka telah dipastikan. Pada waktu itu, diagnosis AIDS membutuhkan waktu hingga 18 bulan.

"Tapi sekarang kami tidak menerima sembarang anak, kecuali yang benar-benar positif HIV karena kita kan sekarang punya tes HIV yang cuma butuh enam minggu," ujar Suster Owen seperti dikutip dari BBC, Kamis (24/7/2014).

Kendati begitu, baru di tahun 2000 atau 8 tahun kemudian, Pastor D'Agostino mendapatkan bantuan obat-obatan antiretroviral (ARV) atau anti-HIV/AIDS pertama untuk anak-anak malang ini. Lantas di tahun 2005, Nyumbani terpilih sebagai salah satu penerima suntikan dana dari AS lewat mekanisme Pepfar (President's Emergency Plan for Aids Relief).

Di sinilah kemudian mulai muncul tantangan baru. Pertama, beberapa anak sudah bertahun-tahun meminum ARV, bahkan ada yang sampai 10 tahun. Akibatnya, sebagian di antaranya ada yang sudah resisten terhadap ARV. AIDS (Acquired Imunodeficiency Syndrome) tidak cuma menjangkiti orang dewasa. Di Kenya, UNAids/UNICEF mencatat ada sekitar 200.000 anak berusia 0-14 tahun yang sudah hidup 'berdampingan' dengan HIV. Beruntung ada yang mau menampung mereka.

Adalah Nyumbani Children's Home. Sekilas tempat ini seperti taman kanak-anak atau panti asuhan biasa. Namun siapa sangka, penghuninya sebagian besar adalah anak-anak yang mengidap HIV, bahkan ada yang usianya masih dua tahun.

Mereka terpaksa tinggal di penampungan seperti Nyumbani karena rata-rata dari mereka sudah yatim piatu dan tak ada sanak saudara yang mau mengurus.

Sejak didirikan pada tahun 1992 oleh Pastor Angelo D'Agostino, Nyumbani telah menampung lebih dari 50.000 anak pengidap HIV. Menurut pengelolanya, Suster Mary Owen, dulunya mereka menampung setiap anak yang diduga terjangkit HIV dari orang tuanya hingga usia 'status' mereka telah dipastikan. Pada waktu itu, diagnosis AIDS membutuhkan waktu hingga 18 bulan.

"Tapi sekarang kami tidak menerima sembarang anak, kecuali yang benar-benar positif HIV karena kita kan sekarang punya tes HIV yang cuma butuh enam minggu," ujar Suster Owen seperti dikutip dari BBC, Kamis (24/7/2014).

Kendati begitu, baru di tahun 2000 atau 8 tahun kemudian, Pastor D'Agostino mendapatkan bantuan obat-obatan antiretroviral (ARV) atau anti-HIV/AIDS pertama untuk anak-anak malang ini. Lantas di tahun 2005, Nyumbani terpilih sebagai salah satu penerima suntikan dana dari AS lewat mekanisme Pepfar (President's Emergency Plan for Aids Relief).

Di sinilah kemudian mulai muncul tantangan baru. Pertama, beberapa anak sudah bertahun-tahun meminum ARV, bahkan ada yang sampai 10 tahun. Akibatnya, sebagian di antaranya ada yang sudah resisten terhadap ARV.Kedua, sebagian besar ARV yang mereka konsumsi bukan disuplai oleh pemerintah, sehingga pengelola Nyumbani harus mendatangkannya langsung dari luar negeri. "Kami pun harus mencarinya lebih dini sehingga mereka tidak akan kehilangan dosis satu pun. Karena ini adalah opsi terakhir untuk anak-anak ini," ungkap salah seorang suster yang bekerja untuk Nyumbani.

Tantangan ketiga adalah anak-anak seringkali kesulitan menelan pil-pil ARV yang besar, keras dan pahit. Pil ini pun sejatinya hanya untuk orang dewasa.

Karena sebagian anak sudah resisten, para perawat di Nyumbani juga terpaksa memberikan dosis lebih. Seperti halnya yang terjadi pada John (bukan nama sebenarnya). Ia mengaku menenggak 18 pil ARV dalam sehari, masing-masing 9 pil di pagi dan sore hari.

"Di negara maju, hanya sedikit anak yang terlahir dengan HIV, sehingga perusahaan-perusahaan farmasi tidak tertarik untuk memproduksinya (pil ARV untuk anak). Dan di negara berkembang tak banyak profit yang bisa mereka dapatkan," keluh Suster Owen.

Suster Owen menambahkan pil-pil ARV untuk dewasa itu terkadang harus dibagi menjadi dua, dikeluarkan serbuknya dari dalam kapsul atau digerus agar lebih mudah dikonsumsi oleh anak-anak mereka.

Setidaknya ada satu hal yang masih bisa membuat Suster Owen tersenyum simpul. Ia melihat adanya peningkatan kondisi kehidupan anak-anak dengan HIV yang pernah ia rawat. Termasuk makin banyaknya akses yang diberikan kepada penderita AIDS untuk mendapatkan pengobatan.

"Beberapa anak yang dulunya pernah ditampung di sini sekarang juga sudah ada yang punya istri dan anak. Bahkan anaknya tidak terinfeksi HIV, begitu juga dengan istrinya. Saya bersyukur kepada Tuhan untuk itu," tutupnya.

Selasa, 22 Juli 2014

Pusing dan Lemas? Jangan Asal Beli dan Minum Suplemen Zat Besi

Jakarta, Banyak orang yang kini dengan berbagai alasan malas berkonsultasi ke dokter, sehingga kerap memutuskan untuk minum obat sendiri. Salah satunya adalah ketika sedang pusing dan lemas, banyak orang yang langsung minum suplemen zat besi tanpa resep dokter.

"Zat besi yang masuk secara oral akan diserap usus halus dan diangkut oleh zat transferin. Nantinya ia akan masuk ke dalam bone marrow dan berperan dalam pembentukan hemoglobin," ujar Dr dr Hariyono Winarto, SpOG(K) saat ditemui detikHealth usai menyelesaikan sidang promosi gelar Doktornya di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jl Salemba Raya, Jakarta, seperti ditulis Selasa (15/7/2014).

Namun meskipun demikian, harus dipertimbangkan secara bijak mengenai pemberian suplemen zat besi terhadap pasien. Sebab tak dapat dipungkiri asupan zat besi yang berlebihan menurut dr Hariyono tidak sehat, bahkan cenderung membahayakan.

Ya, mengonsumsi suplemen zat besi sembarangan dapat mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menyerap mineral seperti kalsium. Selain itu, kebiasaan buruk ini juga dapat menyebabkan efek samping seperti sembelit, mual, muntah dan diare.

Dikutip dari ABC Australia, kelelahan memang merupakan gejala kekurangan zat besi yang sering muncul. Tapi tidak berarti kelelahan berarti kekurangan zat besi. Pertimbangkan kemungkinan penyebab Anda mengalami kelelahan. Bisa jadi alasan kelelahan adalah karena stres atau sering bergadang.

Jika kelelahan berlangsung selama lebih dari beberapa pekan dan tak ditemukan penyebabnya, segeralah konsultasi ke dokter. Biasanya dokter akan menanyakan beberapa informasi mengenai riwayat medis dan gaya hidup Anda, kemudian merujuk tes darah untuk menemukan apakah Anda memang mengalami kekurangan zat besi atau ada hal lain.

Sebagai informasi, selain dari suplemen, sumber makanan kaya zat besi yang bisa Anda konsumsi untuk menjaga kadarnya tetap normal adalah daging merah, kacang-kacangan, biji-bijian, sayuran hijau, buah-buahan kering, sereal dan roti. Sumber: Detik.com

5 cara mudah mencegah Kanker Serviks

5 cara mudah mencegah Kanker Serviks, - Kanker leher rahim atau yang sering dikenal dengan kanker serviks adalah salah satu jenis kanker yang sulit dideteksi karena tidak menunjukkan gejala pada tahap awal. Anda perlu memperhatikan beberapa hal untuk mengurangi risiko dan mencegah kanker serviks.

5 cara mencegah kanker serviks

Kebanyakan kasus kanker serviks biasanya ditemukan ketika kondisinya telah cukup parah. Ketika kanker serviks telah berkembang, tubuh akan memberikan tanda-tanda seperti perdarahan yang tidak biasa atau perdarahan setelah berhubungan seks dan keluar cairan yang abnormal dari vagina.

Mencegah Kanker Serviks


Ada beberapa cara untuk mencegah kanker serviks menyebar dan mengurangi risiko terkena kanker serviks, seperti dilansir onlymyhealth. Berikut 5 cara mudah mencegah Kanker Serviks yang bisa Anda lakukan khususnya kaum wanita, antara lain:

1. Imunisasi HPV
Imunisasi HPV dapat mencegah risiko HPV pada wanita. Vaksinasi HPV seperti Gardasil telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) yang direkomendasikan untuk gadis-gadis muda sebelum aktif secara seksual.

2. Seks yang aman
Melakukan hubungan seks yang aman adalah salah satu hal dasar yang harus dipatuhi seorang wanita agar terhindar dari kanker serviks. Hal ini dapat menjauhkan Anda dari penyakit menular seksual seperti human papillomavirus (HPV).

Kanker serviks dapat disebabkan oleh human papillomavirus (HPV), dimana kebanyakan orang tidak menyadari bahwa dirinya telah terinfeksi. Infeksi menular seksual (IMS) ini memiliki lebih dari 40 subtipe dan mempengaruhi alat kelamin pria maupun wanita atau daerah sekitarnya. Infeksi juga dapat menyebabkan kutil kelamin.

3. Tidak gonta-ganti pasangan seks
Wanita yang memiliki banyak pasangan seks berada pada risiko yang lebih tinggi terhadap kanker serviks. Gonta-ganti mitra seksual juga dapat meningkatkan risiko mengembangkan HPV.

4. Melakukan tes pap secara teratur
Kanker serviks dapat diidentifikasi lebih dini dengan rutin melakukan tes pap, untuk mengetahui apakah ada perubahan pada sel-sel dalam mulut rahim yang mungkin disebabkan karena tumbuhnya sel kanker. Anda dapat memulai untuk melakukan tes pap pada usia 30 tahun dan rutin setiap tahun pada wanita yang berusia lebih dari 65 tahun.

5. Berhenti merokok
Merokok telah diketahui dapat meningkatkan risiko terhadap beberapa kanker, termasuk aknker serviks. Wanita yang merokok atau menjadi perokok pasif memiliki kemungkinan yang lebih besar mengembangkan displasia serviks daripada wanita lain yang terhindar dari paparan asap rokok.

Demikian 5 cara mudah mencegah Kanker Serviks yang bisa Anda jalankan khususnya kaum wanita untuk menjauhkan diri Anda dari penyakit yang sangat menakutkan.

Sebaliknya, bagi yang sudah terlanjur terserang kanker serviks, cepatlah berobat. Baik dengan pergi ke dokter maupun menggunakan obat herbal kanker serviks. Penanganan medis biasanya akan dilakukan berdasarkan tingkat stadium kanker serviks yang diderita.

Sampai saat ini, metode utama pengobatan kanker serviks konvensional, masih bertumpu pada metode operasi dan radioterapi. Pasien kanker serviks biasanya akan disodorkan pada pilihan operasi guna membersihkan lesi kanker dalam serviks.

Pada kasus-kasus tertentu, terutama pada kasus stadium lanjut, pengobatan akan dilanjutkan dengan radioterapi guna memastikan bahwa tidak ada sel kanker yang tersisa dalam tubuh.

Efek samping yang dapat timbul pasca menjalani metode-metode tersebut, bisa jadi berupa resiko infeksi, gangguan fungsi buang air kecil akibat infeksi kandung kemih, dll. Tentu saja, proses pemulihan pada pasien kanker serviks yang menjalani metode pengobatan konvensional ini akan lebih panjang.

Sementara, untuk pengobatan alternatif kanker serviks dilakukan dengan mengonsumsi obat herbal kanker serviks yang punya daya untuk memberantas kanker serviks dan menangkal agar kanker serviks tidak terjadi lagi.

 

Sumber : Detik.com

Masih Mahal, Obat dan Tes HIV Baru Tetap Sulit Terjangkau

Melbourne, WHO memprediksi di tahun 2030, jumlah kasus HIV-AIDS akan menurun drastis seiring dengan makin terbukanya akses pengobatan bagi para penderita, terutama di negara-negara berkembang. Namun upaya ini bukannya tak menemui hambatan.

"Hampir 12 juta orang di negara-negara berkembang kini telah mendapat obat antiretroviral (ARV). Semakin banyak orang yang mendapat pengobatan lebih awal dan mereka perlu mendapat perawatan seumur hidupnya," ujar dr Jennifer Cohn dari organisasi kemanusiaan medis internasional, Medecins Sans Frontieres/Dokter Lintas Batas (MSF) saat menghadiri Konferensi AIDS Internasional di Melbourne.

Direktur Medis Kampanye Akses MSF tersebut menjelaskan ada dua macam perawatan tambahan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita HIV-AIDS. Pertama, 'viral load testing' secara rutin.

Tes ini diklaim sebagai cara terbaik untuk memonitor efektivitas obat antiretroviral yang diberikan kepada pasien, dengan cara menghitung jumlah virus yang 'tersisa' dalam darah setelah diberi obat HIV. Dengan tes ini, dokter dapat melihat apakah pasien merespons pengobatan yang diberikan dengan baik atau tidak.

"Hal ini bila ditambah dengan konseling dan dukungan akan membantu pasien agar bisa bertahan dengan obat lini pertama dalam waktu yang lebih lama," ungkap dr Cohn dalam rilis yang diterima detikHealth, Selasa (22/7/2014).

'Viral load monitoring' ini juga dikatakan lebih akurat dan lebih cepat mendeteksi apakah pasien butuh perawatan lini kedua atau lini ketiga andaikata pengobatan yang saat ini mereka dapatkan ternyata tak mampu bekerja dengan baik.

MSF juga melaporkan di sejumlah negara dengan jumlah kasus HIV-AIDS tertinggi di dunia seperti India, Kenya, Malawi, Afrika Selatan dan Zimbabwe sebenarnya 'viral load monitoring' sudah mulai diimplementasikan, meskipun belum dalam skala yang luas. Hanya saja menurut dr Cohn, kendalanya terletak pada biaya tes yang masih selangit.

"Kami tahu apa yang dibutuhkan untuk membantu memastikan virus HIV bisa ditekan hingga tak terdeteksi dan jumlahnya tetap bertahan di level itu. Tapi di sebagian besar daerah kerja kami, harganya tidak terjangkau," keluh dr Cohn.

Ini belum termasuk mahalnya harga obat-obatan yang dibutuhkan para pengidap HIV-AIDS, terutama obat lini kedua. Berdasarkan laporan tahunan MSF tentang harga obat-obatan untuk pasien HIV-AIDS yang bertajuk Untangling the Web of Antiretroviral Price Reductions, harga obat lini pertama dan sebagian obat lini kedua memang telah menurun dalam kurun 12 bulan terakhir. Sumber : Detik.com

Namun harga obat lini kedua masih dua kali lebih mahal dibandingkan obat lini pertama. Bahkan di beberapa negara dengan penduduk berpenghasilan menengah ke bawah, mereka rata-rata harus membayar 12 kali lebih mahal dari harga terendah.

Minggu, 20 Juli 2014

Hidup Di Tangan Tuhan Buat Apa Takut

“Hidup mati, kaya miskin, jodoh di tangan Tuhan. Kita enggak tahu kita mati kapan. Sejauh kita masih hidup, kita hidup sebaik-baiknya saja. Karena kita enggak tahu kapan kita akan dipanggil sama Tuhan. Orang sehat saja umurnya mungkin lebih pendek dari yang sakit.”

Demikian pelajaran terbesar yang dipahami Tulus (24), salah seorang penderita kanker darah atau leukimia yang sejak 2008 lalu dinyatakan bersih dari penyakit yang diidapnya sejak berumur dua tahun. Sepanjang menjalani berbagai perawatan dan pengobatan hingga saat ini, Tulus meyakini bahwa waktu hidup yang masih diberikan harus dimanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

Untuk itulah, meski pada umur 15-20 tahun dirinya harus istirahat total di rumah sakit, Tulus tetap sekolah dan kuliah. Tentu saja, itu dilakukannya di rumah sakit. Tulus pun sudah memasuki tahun terakhir statusnya sebagai mahasiswa jurusan teknologi informasi di Universitas Bina Nusantara.
Pria yang kini juga tengah mengidap penyakit paru-paru, jantung dan penyumbatan syaraf di batang otaknya ini tengah mengerjakan tugas akhirnya untuk segera memperoleh gelar kesarjanaan sambil terus melakukan pemeriksaan rutin di RS Kanker Dharmais.

Namun, lanjutnya, yang paling berarti baginya adalah ketika dalam kondisi ini, Tulus bisa berbagi kepada para penderita kanker lainnya, terutama melalui komunitas Cancer Information & Support Center (CISC). Tulus menyadari bahwa kelemahan tubuhnya merupakan cara Tuhan untuk memberikan dukungan dan keyakinan kepada para penderita kanker lainnya, terutama leukimia, yang selama ini diketahui sebagai penyakit yang berujung pada kematian yang cepat.
“Makanya saya selalu berpikir yang positif saja, suatu saat Tuhan pasti punya rencana yang lain buat saya. Mungkin dengan begini, Tuhan bisa pakai saya buat kasih support ke orang-orang yang lain. Memotivasi orang-orang bahwa leukimia ternyata umurnya bisa panjang. Selama ini orang kan berpikiran kalau sudah divonis leukimia berpikirnya pasti umurnya pendek. Ternyata tidak,” ungkap pemuda yang kadang-kadang sering nekat pergi sendirian dengan kendaraan umum hanya untuk berjalan-jalan.

Pemahaman serupa juga dialami oleh Hesti. Wanita yang divonis menderita kanker payudara ini meyakini tidak ada hubungan langsung antara penyakit dengan kematian. Menurutnya, banyak orang sehat yang juga tanpa disangka akhirnya meninggal terlebih dulu. Untuk itulah, ketika masih ada waktu hidup yang diperolehnya, dirinya mengaku sangat bersyukur.

Rasa syukur diungkapkannya dengan belajar menerima keadaan dan berbagi kepada penderita kanker lainnya. Bahkan, dengan suara indahnya, Hesti juga mengaku ingin terus berbagi kepada orang lain, baik para penderita kanker ataupun yang tidak.

“Kesulitan kita adalah menerima apa yang Tuhan ijinkan terjadi. Walaupun saya menderita sudah hampir tiga tahun, tapi tetap pelayanan saya jalan. Saya tetap mempromosikan ASI, selain itu saya kerja sama dengan dokter saya untuk ngobrol dan memberikan dorongan kepada penderita kanker yang ditangani dokter saya,” katanya.
Ami, warga Bekasi, juga tak pernah menyangka divonis mengidap kanker payudara. Dari dua kali pemeriksaan, setelah biopsi diketahui dia mengidap kanker payudara stadium dua. Dirinya sempat panik dan malu meski harus terus menjalani rangkaian pemeriksaan.

“Saya awalnya takut. Saya bilang kepada Allah, dosa apa saya sampai kena penyakit ini,” ungkap wanita berjilbab ini ketika dijumpai Kompas.com pada momen yang sama.
Namun hatinya kemudian bisa menerima keadaan ini bukan sebagai akibat dari dosa-dosanya. Menurutnya, siapapun bisa terkena kanker. Penyebabnya memang bersifat medis, sama seperti yang dikatakan oleh pakar bedah onkologi dr. Samuel J Haryono, SpB (K) Onk. dari RS kanker Dharmais sebelumnya. Ami juga mengisahkan guru mengajinya ternyata juga mengidap kanker serupa.

“Saya jadi bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Saya jadi bisa instrospeksi diri lebih baik lagi. Saya dulu yang punya musuh, jadi enggak lagi. Terus dulu cepat marah, sekarang jadinya lebih sabar,” tuturnya. JAKARTA, KOMPAS.com.